Sabtu, 03 Juni 2023

Perjalanan Mengantar Jenasah PMI Non Prosedural Ke Adonara Barat

     Pada Sabtu (15 April 2023) dengan pesawat Garuda GA 448 pada pukul 12.45 WITA, bersama tim kargo menjemput jenasah PMI an. Wilhelmina Beto Koten asal Desa Nimun Danibao, Kec. Adonara Barat, Flores Timur di Kargo El Tari Kupang.

(Penjemputan jenasah PMI nonprosedural di kargo bandara El Tari Kupang)

Lalu pada Minggu (16 April 2023), Kami menuju ke rumah duka di Adonara Barat menggunakan Kapal Inerie II tujuan Kupang -Larantuka. Perjalanan menuju ke Larantuka membutuhkan waktu sekitar 12 jam. Berangkat sekitar setengah tiga sore. Tujuan perjalanan ini adalah mengantar jenasah PMI non prosedural ini dan melakukan advokasi terhadap korban TPPO oleh Tim Penyidik Kargo. Tim yang pergi berjumlah 3 orang. Hawa kapal yang panas mengharuskan kami menyesuaikan kondisi disini.

Bertemu dengan kerabat dari almarhum Wilhelmina. Almarhum adalah istri dari om/paman bapak kerabat yang turut mengantar kepulangan jenasah. Kami sempat berbincang-bincang dengan kerabat almarhum. Mereka bercerita bahwa Almarhum Wilhelmina telah bekerja di Malaysia selama 13 tahun. Ia pergi ke Malaysia bersama suaminya. Almarhum memiliki 3 orang anak. Anak pertama(perempuan) tinggal d rumah di desa Nimun Danibao, anak kedua (laki-laki) berkuliah di Makassar, dan anak ketiga berada di Malang. Umur Wilhelmina saat tutup usia adalah 54 tahun. Ia bersama suami bekerja di perkebunan kelapa sawit. Mereka tinggal secara ilegal di Malaysia. Suami-istri ini bekerja di Kelangkang, Malaysia Timur.

(Pendampingan oleh tim kargo saat berada di kapal)

Dari pelabuhan Waibalun  dijemput ambulance menuju pelabuhan Larantuka. Lalu dibawa menyebrang menggunakan perahu motor. Hari itu (17 April 2023) tepat pukul 05.10 WITA,  jenasah tiba di Adonara Barat. Bulan mengantar dan matahari pagi beserta keluarga menyambut kepulangam jenasah. Almarhum telah meninggal sejak 13 hari saat diantarkan.  Selama pergi ke Malaysia mereka tidak pernah pulang. Anak-anak mereka dititipkan ke keluarga. Saat jenasah tiba dilakukan adat Hoak. Adat Hoak adalah membuang segala rintangan yang dibawa oleh almarhum agar kesialan/hal buruk tidak masuk ke kampung mereka.

Lalu dari pelabuhan Tobilota, jenasah di jemput dan diantar menggunakan ambulance. Tangis keluarga pecah saat perahu bersandar. Sekitar sejam kami berada di perjalanan dari Tobilota menuju rumah duka. Jalanan menuju rumah almarhum rusak parah dan jalannya berbatu. Jalanannya rusak akibat siklon seroja pada 2021. Kondisi jalan menuju rumah duka sangat tidak bagus. Ketika kami bertanya pada beberapa masyarakat dan keluarga almarhum, mata pencaharian di daerah mereka adalah petani. Letak desanya berada di bagian pegunungan. Kebanyakan Perempuan disana menjual pisang, rempah-rempah, coklat, ubi, dan mengolah kebun. Pria disana juga bekerja sebagai petani. Ketika hendak ke pasar untuk menjual hasil buminya, mereka harus menggunakan ojek atau pick up. Pergi-pulang ongkosnya dapat mencapai Rp.40.000,- hingga Rp. 100.000,-. Sedangkan untuk mendapat pemasukan dari hasil penjualan tidak seberapa. Yang kami amati, daerah mereka sangat kaya. Daerahnya subur. Masyarakatnya tak kurang makan, mereka hanya kurang uang untuk menguliahkan anaknya dan membeli keperluan lainnya. Ditambah akses ke daerah perkotaan dan pasar yang sulit memperkuat alasan orang-orang didaerah ini memilih untuk merantau. Tujuan alm. Wilhemnina pergi ke Malaysia untuk mencari dan mengumpulkan uang untuk mengubah nasib serta menguliahkan anak-anaknya saat sudah dewasa (saat ke Malaysia anak-anaknya masih remaja).

(Kerabat alm. Wilhelmina menjemput jenasah di pelabuhan Tobilota)

Kami tiba di rumah duka di Kampung Kebang, Desa Nimun Danibao pada pagi hari. Isak tangis menyelimuti tempat itu. Peti jenasahnya disarankan agar tidak dibuka. Lalu Suster Lauren diberikan kesempatan untuk menyampaikan sepatah-dua kata. Suster Lauren menegaskan bahwa untuk keluar negeri boleh-boleh saja asalkan jangan ilegal. Lebih baik di tanah sendiri, merawat tanah sendiri daripada ke negeri seberang tapi pulang dalam keadaan menjadi jenasah. Kami juga bercerita dengan masyarakat disana. Almarhum Wilhelmina meninggal karena pecahnya pembuluh darah (Coronary Artery Disease). Kata masyarakat disana, almarhum bersama suami berencana untuk pulang ke kampung halaman tahun ini namun masih menunggu gajinya dibayar majikan. Sehari sebelum meninggal, almarhum menelpon keluarga dikampung dan anak-anaknya. Katanya, mereka mengobrol banyak. Pada hari berikutnya, Almarhum meninggal karena penyakit jantung.

Suami alm. Wilhelmina juga ikut pulang kemudian namun tidak mendapat penguburan istrinya karena suaminya masih di perjalanan dari Malaysia ke Indonesia. Karena setelah diantar, besoknya pemakaman. Kami tidak mengikuti pemakamannya. Setelah di ajak untuk makan bersama, kami melanjutkan perjalanan menuju Baniona, di sebuah Desa yang bernama Klukeng Nuking. (Unny)

Festival Budaya Helong II : Perempuan Helong Melawan Punah

"Kelestarian tenunan Helong adalah bukti perjuangan perempuan Helong merawat budaya Helong dari kepunahan"


Bertepatan dengan Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2023, Komunitas Penjaga Budaya Helong menyelenggarakan Festival Budaya Helong II. Festival ini mengusung tema Mari Bersama Mengenal Budaya Helong. Tujuan festival ini untuk melestarikan budaya Helong dan melawan punah. Suku Helong adalah salah satu suku di pulau Timor yang menempati wilayah Kupang. Festival Budaya Helong II dilakukan di Uibona, Kolhua. Lokasi Festival berada dekat dengan Ume Kleo (rumah adat suku Helong). 

    (Perempuan Helong dan Ume Kleo)

Festival ini mempersembahkan tutur sejarah, tenun Helong, musik dan tari, basan/natoni, kuliner lokal, pangan lokal dan pameran kriya. Perempuan suku Helong disebut bihata. Buah tangan Perempuan Helong dapat dilihat dari hasil tenunan yang dipajang dalam setiap pameran karya. 

 

(Kain adat suku Helong yang dipamerkan saat Festival Budaya Helong II)

Tenunan suku Helong umumnya bermotif belah ketupat. Tenunan dengan motif ini digunakan dalam acara-acara adat dan acara penting lainnya. Motif ini memiliki makna keberagaman marga masyarakat Helong dan melambangkan kekeluargaan. 


(Salempang Suku Helong yang dipamerkan pada Festival Budaya Helong II)

Hasil tenunan yang di pamerkan berupa sarung dan salempang yang dalam bahasa Helong disebut seman dan po'uk. Sarung untuk laki-laki disebut seman atuli dan dan sarung untuk perempuan disebut seman bihata.

Warna kain tenun suku Helong adalah campuran hitam, merah maron, putih, dan kuning. Dulunya, pewarna kain tenun diambil dari alam dan benangnya berasal dari kapas. Namun, kapas sudah jarang ditemui sehingga masyarakat menggunakan benang dan pewarna sintesis. Untuk mengikat pewarna benang dan mempertahankan warna kain agar tidak luntur,  sejak dulu perempuan Helong menggunakan Khoma (lumpur) yang diambil dari Ui Kenka (air genoak).


(Lumpur/Khoma pengikat warna benang agar tidak luntur)

Jenis tenunan suku Helong  adalah tenun ikat. Dalam bahasa Helong tenun ikat disebut Hutus. Tenunan ikat adalah tenunan yang dibuat dengan proses mengikat benang. Selain Hutus, ada jenis tenunan yg tidak melalui proses ikat. Jenis tenunan ini (dalam bahasa Helong) disebut Insoe

Tenunan hanya dikerjakan oleh perempuan dan membutuhkan waktu yang lama. Kelestarian tenunan suku Helong adalah bukti perjuangan perempuan merawat budaya Helong dari kepunahan.
 
Selain kain adatnya, ada stand menenun oleh kelompok penenun. Kerennya, kelompok penenun ini terdiri dari perempuan yang berusia anak, remaja hingga dewasa. Perempuan kelompok ini memperlihatkan kemampuan mereka dalam menenun. 

(Lea, salah satu anggota kelompok menenun suku Helong yang tampil dalam festival ini)

Tarian Lupu juga dipentaskan dalam festival kali ini. Tarian Lupu adalah tarian tentang kebersamaan masyarakat Helong pada zaman dahulu yang bergotong royong ketika membangun ladang baru atau membangun rumah. Tarian ini juga dilakukan saat proses merontokkan padi yang dipanen dengan menggunakan kaki. Difestival ini anak-anak membawakan tarian Lupu dengan berpakaian adat, saling bergandeng tangan dan membentuk lingkaran lalu menari sambil menghentakkan kaki. Tarian Lupu telah tercatat dalam Rekor MURI. 

(Tarian Lupu yang dibawakan oleh anak-anak suku Helong)

Dalam festival ini juga dipamerkan beberapa tumbuhan obat-obatan tradisional yang digunakan masyarakat suku Helong. 

(Tumbuhan obat yang digunakan masyarakat suku Helong)

Selain itu, ada stand pangan lokal dari masyarakat suku Helong. Tanah yang subur dan alam yang masih alami menghasilkan padi, sayur-sayuran hijau, kelapa, pisang, pinang, siri, kacang-kacangan, bunga tumbuhan gala-gala, singkong dan lainnya. Hasil bumi ini diolah perempuan untuk kehidupan generasi berikutnya.

 
(Pangan lokal masyarakat suku Helong)


Gong dan gendang dipamerkan sebagai barang-barang antik dan alat musik dari suku Helong. Gong dan gendang adalah alat musik tradisional yang mengiringi tarian tradisional suku Helong. 

(Gong dan gendang, alat musik tradisional Suku Helong)

Difestival ini pengunjung juga berkesempatan belajar menganyam bersama Perempuan suku Helong. Anyaman yang dibuat berupa ketupat (bentuk segitiga, jantung dan balok). Di stand menganyam ini dipamerkan beberapa anyaman seperti nyiru, bakul, kipas, tikar, dan ketupat. 

(Pengunjung diajari menganyam oleh Perempuan Helong)

Kuliner lokal juga disajikan dalam festival ini. Selain menikmati pameran kriya, pengunjung berkesempatan menyantap kuliner lokal. Kuliner lokal berupa ketupat, jagung bose, ubi rebus, pisang rebus, sayur singkong dan sambal. Ketupat sering disajikan saat acara-acara seperti ini. Jagung bose adalah masakan khas masyarakat Timor.

 (Masakan lokal di festival Budaya Helong II)

Stand foto juga disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto. Pada kesempatan ini kami berfoto ria menggunakan sarung dari suku Helong. 

   (Foto bersama dengan latar Ume Kleo)


Penulis : Unny
Editor : Lya Bistolen